Jumlah korban tewas akibat bencana gempa bumi 7,6 skala richter (SR) yang mengguncang Sumbar, Rabu (30/9), hingga Sabtu (10/10) diperkirakan mencapai 1.114 orang. Jumlah itu diperoleh dari data korban tewas per Jumat sebanyak 1.093 orang dan tambahan 21 korban tewas yang tercatat pada Sabtu (10/10).
Dari jumlah korban tewas itu, menurut Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Priyadi Kardono, Sabtu (10/10), yang telah ditemukan sebanyak 805 orang. Sisanya belum ditemukan dan dilaporkan masih tertimbun di bawah reruntuhan.
Priyadi memerinci, jumlah korban meninggal itu antara lain, 312 jiwa di Kota Padang, Pariaman (37), Kota Solok (3), Padang Pariaman (359), Kabupaten Agam (80), Kabupaten Solok (2), Pasaman Barat (3) dan Pesisir Selatan (9).
Sementara korban yang masih dinyatakan hilang, antara lain terdapat di Padang dan Padang Pariaman (237).
ANCAMAN TETANUS
Terkait ancaman penyakit, Koordinator Tim Kesehatan Universitas Indonesia (UI) Ari Fahrial Syam mengungkapkan, salah satu yang harus diwaspadai adalah tetanus. “Akibat luka terbuka mengakibatkan pengungsi mudah terserang tetatus,” katanya, saat memaparkan evaluasi kesehatan pasca gempa Sumbar, Jumat.
Terkait ancaman penyakit, Koordinator Tim Kesehatan Universitas Indonesia (UI) Ari Fahrial Syam mengungkapkan, salah satu yang harus diwaspadai adalah tetanus. “Akibat luka terbuka mengakibatkan pengungsi mudah terserang tetatus,” katanya, saat memaparkan evaluasi kesehatan pasca gempa Sumbar, Jumat.
Ari mengatakan, saat ini sebagian besar masyarakat masih tinggal di tenda-tenda darurat dari kondisi yang baik sampai yang sangat sederhana. Di sisi lain, trauma masyarakat yang terkena gempa masih membekas sehingga sebagian besar masih memilih tidur di luar rumah. “Kondisi lingkungan yang buruk dan istirahat yang tidak baik akan memperburuk kondisi kesehatan para pengungsi,” katanya.
Ditanyakan buruknya koordinasi kesehatan di sana, Ari mengatakan, kondisi demikian kerap berulang terjadi. Misalnya, ketika ada pasien yang harus secepatnya ditangani di RSUD.
“Kita sudah bergerak cepat membawa pasien, ternyata di RS tidak ada alat-alatnya. Kasus-kasus seperti itu juga terjadi ketika tim membantu pengungsi di Aceh, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Mestinya, kita belajar dari pengalaman,” katanya.
STRUKTUR BANGUNAN LEMAH
Sementara itu, Koordinator Tim Forensik Bangunan Universitas Indonesia (UI) Josia Irwan Rastandi mengemukakan banyaknya bangunan yang hancur dan menimbulkan korban tewas di Sumatera Barat (Sumbar) akibat gempa berkekuatan 7,6 SR dinilai lebih diakibatkan kegagalan struktur bangunan. “Ambruknya bangunan Hotel Ambacang dan bangunan lainnya bisa diduga karena human error. Itu karena mengabaikan prinsip-prinsip struktur bangunan antigempa,” ungkapnya, Jumat (9/10).
Sementara itu, Koordinator Tim Forensik Bangunan Universitas Indonesia (UI) Josia Irwan Rastandi mengemukakan banyaknya bangunan yang hancur dan menimbulkan korban tewas di Sumatera Barat (Sumbar) akibat gempa berkekuatan 7,6 SR dinilai lebih diakibatkan kegagalan struktur bangunan. “Ambruknya bangunan Hotel Ambacang dan bangunan lainnya bisa diduga karena human error. Itu karena mengabaikan prinsip-prinsip struktur bangunan antigempa,” ungkapnya, Jumat (9/10).
Josia menerangkan, berdasarkan pengamatan timnya pascagempa di wilayah Padang, menunjukkan ada kelalaian pada struktur bangunan, di antaranya Hotel Ambacang. Sehingga, bangunan justru rawan hancur bila diguncang gempa.
“Dulunya, sebelum menjadi hotel, bangunan itu adalah gudang dua lantai yang dibangun semasa kolonial Belanda. Kemudian diubah menjadi pasar swalayan, belakangan bangunan ditambah menjadi enam lantai tapi tidak mengubah atau memperkuat struktur bangunan. Ada kemungkinan tambahan lantai bertingkat itu hanya menempel pada fondasi yang sudah ada. Buktinya, bangunan asli hotel itu tidak hancur,” katanya.
Bangunan lain yang diteliti tim forensik bangunan UI, adalah gedung sekolah bahasa asing. “Bangunan aslinya hanya satu lantai. Mungkin, karena siswa bertambah, akhirnya, ditambah dua lantai lagi. Lagi-lagi, ternyata bangunan itu mengabaikan prinsip-prinsip bangunan antigempa. Yakni tanpa kolom dan balok. Padahal, masyarakat sudah paham betul bahwa Sumatera sangat rentan dengan gempa,” katanya.
Kepala Divisi Struktur Laboratorium dan Material Teknik Sipil UI itu menerangkan, prinsip-prinsip bangunan gempa itu sebenarnya sudah termuat dalam SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan dan Gedung. “Saya tidak tahu, apakah sosialisasi yang kurang dari pemerintah atau karena faktor lainnya. Sebab, aturan ini sudah ada sejak 2002. Pembuatan aturan-aturan ini juga mendapat asistensi dari pemerintah Selandia Baru,” katanya.
Josia melanjutkan, berdasarkan aturan tersebut, daerah Kota Padang dan sekitarnya termasuk wilayah gempa 5 dengan percepatan batuan dasar sebesar 0,25 g. Berdasarkan catatan seismograf yang ditempatkan di Universitas Andalas tercatat Peak Ground Acceleration (PGA) atau Percepatan Puncak Muka Tanah di bawah wilayah 5. Yakni, masuk wilayah 3.
Ini berarti gempa yang terjadi di Padang dan sekitarnya masih berada dalam range perkiraan kekuatan gempa yang ada di dalam peraturan yang berlaku. Seharusnya jumlah korban akibat kegagalan struktur bangunan tidaklah besar, karena beban gempa yang masih terjadi berada di bawah beban rencana.
“Artinya, gempa yang terjadi sesungguhnya masih berada di bawah batas maksimum beban gempa yang ada di dalam SNI 03-1726-2002. Bisa dibayangkan, jika gempa mencapai dua atau tiga kali lebih besar dengan kondisi bangunan seperti ini,” katanya.
Karena itu, tambahnya, pada proses rehabilitasi bangunan terutama bangunan fasilitas umum, perlu ada desain yang tepat dan pengawasan yang ketat. Sehingga menjamin adanya Struktur yang tahan gempa. (SP/y)
Padang (SIB)
Padang (SIB)
No comments: